Kuda unggul dalam kecepatan dan kelincahan di medan non-gurun, membuatnya lebih responsif untuk berbagai kebutuhan.
Kuda mampu mencapai kecepatan puncak sekitar 70 km/jam, dengan laju canter yang stabil di kisaran 40–48 km/jam, sehingga ideal untuk mobilitas cepat dan manuver mendadak. Struktur kuku yang keras memberi traksi baik di rumput, tanah liat, dan jalur berbatu, sementara tubuhnya yang lincah memudahkan belok tajam dan akselerasi. Mekanisme berkeringat yang efisien juga membantu kuda mempertahankan performa pada kerja intens. Di luar habitat gurun, kombinasi ini menjadikan kuda lebih serbaguna dan gesit daripada hewan pekerja lain.
Kuda terbukti cocok dengan iklim lembap Indonesia dan telah menyatu dalam ekosistem sosial-ekonomi lokal.
Dari kuda Sumba sampai kuda Madura, pembiakan dan pemeliharaan kuda telah lama hidup berdampingan dengan budaya Nusantara—dari transportasi tradisional hingga upacara adat. Infrastruktur pendukung seperti pakan, marstall, farriery (penyepuhan kuku), dan dokter hewan juga sudah mapan, sehingga biaya adaptasi dan risiko operasional lebih rendah. Kuda juga lebih mudah diintegrasikan ke lingkungan pedesaan yang berhutan dan berbukit yang lazim di Indonesia. Alhasil, transisi ke penggunaan kuda—baik untuk kerja, wisata, maupun pertunjukan—lebih mulus dan berkelanjutan.
Relasi kuda–manusia yang kuat meningkatkan keselamatan, efektivitas pelatihan, dan kesejahteraan kedua belah pihak.
Penelitian etologi menunjukkan kuda peka membaca bahasa tubuh dan ekspresi manusia, serta mampu mengingat individu dan isyarat yang dipelajari. Karena itu kuda banyak dipakai dalam terapi berbasis hewan (equine-assisted therapy) untuk meningkatkan regulasi emosi dan koordinasi motorik. Dalam praktik sehari-hari, kuda merespons halus pada perintah melalui tangan, kaki, dan suara, membuat kerja sama jadi presisi dan aman. Ikatan sosial ini bukan sekadar romantika; ia bermuara pada produktivitas dan kualitas hidup yang nyata.
Kuda membuka jalur prestasi olahraga resmi dan nilai ekonomi terukur melalui kompetisi dan pariwisata.
Cabang berkuda—show jumping, dressage, eventing, dan endurance—diakui di level Olimpiade dan FEI, dengan lomba ketahanan resmi mencapai 80–160 km per hari. Standarisasi aturan, pengukuran waktu, dan sertifikasi kinerja membuat nilai kuda dapat dinilai obyektif, memudahkan investasi dan pengembangan atlet. Ekosistem ini mengalir ke pariwisata: wisata berkuda, festival budaya (misalnya tradisi berkuda di Sumba), dan atraksi edukatif yang menarik pengunjung. Efek gandanya adalah lapangan kerja, promosi daerah, dan rantai nilai yang jelas dari peternak hingga pelatih.