PLTS kini berbiaya sangat kompetitif dan bisa dibangun jauh lebih cepat daripada opsi lain.
Secara global, LCOE PLTS utilitas sudah berada di kisaran sekitar USD 0,03–0,06/kWh, didorong harga modul yang anjlok ke <USD 0,20/W pada 2023–2024. Proyek skala utilitas lazim rampung dalam 6–12 bulan, sementara PLTS atap untuk rumah/UMKM hanya butuh hitungan hari–minggu. Biaya operasi dan pemeliharaan PLTS tanpa komponen bergerak umumnya 30–60% lebih rendah dibanding teknologi berputar. Kombinasi biaya modal yang terus turun dan waktu konstruksi singkat membuat pengurangan tarif listrik bisa terasa lebih cepat di lapangan.
Sumber daya surya di Indonesia tersebar merata dan dapat dimanfaatkan di hampir semua provinsi.
Sebagai negara ekuator, Indonesia menerima iradiasi rata-rata sekitar 4,5–5,5 kWh/m2/hari, yang mendukung faktor kapasitas PLTS ~17–20%. Artinya, dari atap rumah di Jawa hingga lahan parkir dan waduk di Sumatera, Kalimantan, dan Nusa Tenggara, PLTS dapat dibangun dekat dengan pusat beban. Distribusi yang merata ini mengurangi ketergantungan pada koridor angin spesifik dan meminimalkan biaya jaringan karena pembangkitan bisa didesentralisasi. Pendekatan rooftop dan floating PV juga memanfaatkan ruang eksisting, sehingga konflik tata ruang dan sosial lebih kecil.
Arsitektur PLTS yang modular dan tanpa komponen bergerak menyederhanakan scaling, integrasi, dan perawatan.
PLTS dapat ditumbuhkan dari kilowatt ke gigawatt hanya dengan menambah string-panel, tanpa fondasi raksasa atau crane besar. Teknologi ini cocok untuk integrasi dengan baterai dan smart inverter, mempermudah manajemen tegangan, frekuensi, dan layanan bantu di jaringan modern. Rantai pasoknya semakin komoditisasi, sehingga suku cadang dan tenaga terampil lokal mudah dikembangkan, menurunkan risiko proyek. Hasilnya, ketersediaan (availability) tinggi dan downtime rendah, yang mendukung keandalan sistem secara keseluruhan.
Produksi siang hari PLTS selaras dengan puncak permintaan AC dan efektif menekan konsumsi diesel di sistem kepulauan.
Di banyak kota Indonesia, beban puncak terjadi siang–sore saat pendingin udara bekerja keras; profil produksi PLTS secara alami mengikuti pola ini. Pada mikrogrid dan pulau terpencil, kombinasi PLTS+baterai terbukti memangkas konsumsi BBM sekitar 50–80%, menurunkan LCOE ke kisaran ~USD 0,20–0,30/kWh dibandingkan diesel murni ~USD 0,25–0,50/kWh. Hal ini mengurangi biaya logistik bahan bakar, volatilitas harga, dan emisi, sekaligus meningkatkan kualitas udara dan kenyamanan akustik. Tambahan baterai beberapa jam membuat suplai tetap stabil setelah matahari terbenam, sehingga layanan publik dan ekonomi lokal lebih tangguh.